Pada malam hari saat itu, aku sedang berkumpul bersama
teman-teman di markas yang biasa kami tempati. Saat itu, malam terasa dingin.
Ditambah hujan lebat yang mengguyur dan angin yang menembus ventilasi markas,
menambah suasana dingin semakin mencekam. Menggigil.
Dingin mencekam. Kami saling menatap.
Rasa lapar menambah siksaan bagiku. Memang sejak siang tadi
perutku belum kemasukan sesuatu yang bisa dimakan. Siang tadi aku tidak punya
selera makan. Dan baru malam yang dingin ini nafsu makanku datang.
Aku sempat mendengar bunyi yang tidak aneh bagi telinga dari
teman yang duduk di sebelahku, “Kriuk, kriuk.” Aku tersenyum, ternyata, bukan
aku saja yang merasa lapar. Hampir semua orang yang berada di markas merasakan
hal yang sama. Dingin dan lapar.
“Siapa yang mau menjadi pahlawan?” kata salah satu dari kami
yang duduk di sudut markas yang sekaligus memecah keheningan.
“Ayolah Jaz! Biasanya yang menjadi pahlawan kan kamu,”
sambung teman yang lain yang juga merasakan lapar dan dingin.
Ayo…, ayo…, dan ayo… kata-kata itu terus bersambung dari
teman-teman yang lain. Namun, Jaz (nama panggilan dari temanku yang biasa
menjadi pahlawan dilaka orang yang lain sedang kelaparan).
Selama lima menit tidak ada yang angkat bicara. Rupanya,
dingin dan lapar membuat kami semakin lemas dan loyo.
“Bismillah,” seseorang yang berada di depanku bersuara, yang
tidak lain adalah Jaz.
“Ayo kumpulkan uangnya! Aku yang akan berangkat untuk membeli
nasi,” kata Jaz kepada kami.
Tanpa menunggu waktu lama, uang pun terkumpul. Cukup untuk
membeli nasi enam bungkus.
Jaz berangkat sendirian, tanpa seorang teman. Pantaslah
baginya untuk dijuluki sebagai seorang pahlawan. Meski yang ditolong mengenai
masalah perut.
49 menit kemudian.
Jaz datang dengan sekantong keresek yang berisi nasi yang
masih hangat.
Ia pun membagikan bungkusan nasi kepada kami yang dari tadi
menahan lapar dan dingin. Ketika masing-masing dari kami memulai makan
bungkusan nasi terjadi hal yang ganjil. Ternyata, si Jaz tidak kebagian nasi
yang dibelinya.
“Bagaimana bisa?” suara kami hampir bersamaan. “Trus, kamu
gak makan,” lanjutku.
“Gak masalah, yang penting kalian kenyang dan enak,” kata
Jaz.
Dia tahu arti sahabat daripada kami yang menahan lapar. Andaikan
kamu hidup di zaman kemerdekaan, maka bukan tidak mungkin saat ini manumen pahlawan
menghiasi jalanan kota Surabaya dengan bertuliskan Jazuli is Hero.